Selasa, 25 Juli 2017

Bayangan Alberto

Aku berlawanan cahaya. Akulah sisi gelap Alberto. Melekat di dirinya walaupun sering kali samar. Aku bergerak layaknya Alberto. Aku mengetahui segala tentang Alberto. Entah melalui apa aku mendengar, melihat, dan merasa, aku tahu semua tentangnya.

“Aduuuuh,” keluh Alberto. Aku memegang perut mengikutinya. Sejak dua jam yang lalu Alberto merasakan sakit yang teramat sangat di perutnya. Ia mengamuk, mengeluh kesakitan. Tinggal sendiri di sebuah gubuk yang hanya berisi satu tempat tidur dan bilik kamar kecil membuat Alberto semakin tak memahami dirinya. Pagi, siang, dan malam, ibunyalah yang memberinya makan. Ketika Alberto terlihat tenang, sesekali ibunya mengelus dan mencium keningnya. Namun, ketika  air muka Alberto berubah, ibunya segera mengunci pintu gubuk itu dari luar.

Sudah dua tahun Alberto hidup di sana. Hal itu bermula sejak ibunya tidak sanggup lagi menahan ketakutan pada Alberto yang menurutnya sangat aneh. “Aku takut dengan kegilaan anakku,” ungkap ibunya setiap ditanya alasan mengurung Alberto.

***

Alberto merupakan seorang anak berusia 12 tahun yang memiliki sifat sangat pendiam, rajin, dan patuh. Suatu ketika Alberto tiba-tiba berubah menjadi anak yang sangat feminin. Ia memakai pakaian ibunya dan berbicara layaknya wanita dewasa.
“Bu, aku mulai mencintai Diego tetangga kita. Aku sungguh terpesona padanya,” ucap Alberto lembut.
“Hei, apa-apaan kau ini? Sudah, jangan bertingkah aneh, pergi ke kamarmu. Ibu akan menyiapkan makan malam,” tutur ibu Alberto.
Ketika mengetahui hal itu, tak hanya ibu Alberto yang heran, aku pun begitu. Secara terpaksa aku bergerak gemulai dengan sangat feminin mengikuti Alberto. Aku merasa gerakanku tidak sesuai dengan jiwaku. Namun sepertinya Alberto tak menyadari hal itu. Aku berteriak pada Alberto, “Hei bodoh, kau Alberto! Kau anak kecil yang masih sekolah dasar!” Namun percuma, teriakanku tak terucap sedikitpun. Bagaikan bisikan hati, hanya aku sendiri yang mendengar.

“Hai, aku Eliza. Kau Diego, bukan?” Alberto memberanikan diri mengulurkan tangan pada Diego yang sedang membaca koran di depan rumahnya.
“Apa-apaan kau Alberto? Cepatlah pulang, ini sudah malam,” tolak Diego seraya masuk ke dalam rumah. Dengan penuh sakit hati, Alberto pun pulang ke rumahnya.
“Ibu, aku tidak ingin makan malam, aku ingin tidur!” sentak Alberto pada ibunya sambil menangis dan menutup pintu kamar dengan keras. Ibu Alberto pun mulai merasakan keanehan dan mengelus dadanya.

Jika ingin tidur, Alberto tak suka dengan lampu menyala. Ia mematikan lampu kamarnya. Tak ada cahaya, aku pun memudar.

Keesokan harinya, aku sangat senang karena Alberto sadar kembali. “You’re back!” teriakku. Alberto bergegas mandi dan sarapan. Ia mencium pipi ibunya dan berangkat ke sekolah.
Hmm, hal itu terjadi lagi. Namun sangat berbeda dari yang pertama. Kali ini aku dipaksa Alberto melakukan hal yang tidak biasa lagi. Alberto menantang genk yang terkenal kejam di sekolah untuk berkelahi.
“Kalian sudah sering menghajar anak-anak di sekolah ini. Temui aku di belakang sekolah setelah ini, dan akan ku beri tahu rasanya sakit!” tantang Alberto.
“Hahaha, apa yang kau katakan, cupu? Kau mengigau?” kata Ron sang ketua genk. “Jangan panggil aku John jika aku tak bisa mengalahkanmu!” teriak Alberto.
”John? Hahaha. Hei, jangan mengigau, Alberjohn!” ejek Ron disambut gelak tawa teman-temannya.
Aku semakin heran. Namun aku tak bisa menghentikan Alberto. Aku hanya bisa mengikuti gerakannya. Aku memang bisa mengetahui perilaku Alberto yang tidak bisa diketahui oleh orang lain. Namun, aku tidak bisa mengetahui isi hatinya, mengapa ia melakukan hal ini. Aku tak bisa berontak.

“Teeet…” Bel sekolah berbunyi. Segera aku dan Alberto ke belakang sekolah. Tak lama datanglah Ron dan genk-nya dengan muka yang sangat beringas. Pikiranku berkecamuk. Namun, gerakku nampak gagah. Alberto mulai menghampiri mereka.
“Apa yang kau inginkan, cupu Alberjohn?” ejek salah seorang anggota genk.
“Kau ingin luka? Atau kematian?” tantang Ron.
“Ya, aku ingin kematian. Namun bukan kematianku, tapi kematianmu!” balas Alberto misterius.
“Hiaaaaa...!!!” Alberto menyerang mereka satu per satu dan terjadilah perkelahian. Aku memukul sisi gelap para anggota genk tersebut. Aku merasa dikuatkan, entah oleh apa. Aku mulai bangga dengan keberanian Alberto.
Pukulan terakhir Alberto di atas perut dan di belakang leher Ron membuat Ron tersungkur. Teman-teman Ron yang terluka parah segera melarikan diri.
“Sudah ku bilang aku menginginkan kematianmu,” bisik Alberto pada Ron sesaat sebelum Ron kehilangan nyawanya.

Alberto pulang ke rumah mengenakan seragam yang kotor dan ada bercak darah. Ibunya ketika itu kebetulan tidak ada di rumah. Setelah membersihkan diri, seolah tak terjadi apa-apa, Alberto seperti biasa membaca buku di ruang tamu sambil memakan snack kesukaannya. Tak ada ciri-ciri kegelisahan di raut mukanya. Aku lagi-lagi merasa heran.

Alberto benar-benar mempermainkanku! Sore hari, ia berdandan dengan kosmetik ibunya dan menggoreskan tulisan “I love you, Diego” dengan lipstik di cermin rias ibunya. Setelah puas, kali ini Alberto ke kantor polisi dan melaporkan bahwa ia melihat beberapa siswa yang sedang berkelahi dan juga tejadi pembunuhan. Dengan menangis seolah-olah trauma, ia menceritakan kronologi kejadiannya dan menyebutkan salah satu siswa tersebut bernama Albertjohn.
“Aku melihatnya sendiri, Pak. Ada yang terbunuh di sana,” ucapnya tersedu-sedu.

Aku tahu, polisi tak akan langsung percaya dengan penyampaian Alberto. Bagaimana tidak, seorang anak laki-laki dengan wajah penuh riasan dan pakaian menyerupai perempuan datang malam-malam ke kantor polisi untuk menceritakan kasus pembunuhan. Wajah polisi itu tampak heran melihat Alberto.
“Siapa namamu dan berapa usiamu?” tanya polisi berkumis tebal itu.
“Aku Eliza, 21 tahun. Aku sangat takut melihat kejadian itu, Pak. Sangat takut!” jawabnya. Polisi tersebut mulai menenangkan Alberto, kemudian mengantarkannya pulang.

***

Ibu Alberto yang baru datang ternyata telah ditunggu di depan rumah oleh bu Reika, guru Alberto di sekolah. Ketika ibu Alberto mempersilakan bu Reika masuk, tiba-tiba Alberto datang. Ibunya sangat terkejut melihat Alberto bersama polisi. Alberto pun langsung berlari masuk ke kamarnya, sedangkan polisi yang berada di depan rumah disambut oleh ibu Alberto.

Alangkah terkejutnya ibu Alberto mendengar cerita polisi tersebut tentang pengaduan anaknya. Yang paling mengherankan adalah hal tersebut serupa dengan cerita yang kemudian disampaikan oleh bu Reika. Ia menyampaikan bahwa teman-teman Ron mengadukan pembunuhan yang dilakukan Alberto pada Ron. Jasad Ron pun ditemukan di belakang sekolah. Teman-teman Ron menyebutkan bahwa ketika itu Alberto mengaku dirinya sebagai John.

Ibu Alberto semakin tertekan. Di satu sisi, ia sadar bahwa anaknya mulai mengalami keanehan. Di sisi lain, ia tidak percaya bahwa anaknya sampai melakukan hal tersebut. Akhirnya, ia memanggil Alberto ke ruang tamu.
“Alberto, ibu ingin bicara denganmu!” panggil ibunya sedikit berteriak.
“Aku segera ke sana, Bu,” sahut Alberto dengan nada sopan. Alberto dan aku keluar kamar dengan gerakan tenang seperti Alberto biasanya.
“Ada apa, Bu?” tanya Alberto seraya duduk di samping ibunya. “Selamat malam, Bu Reika. Ada apa Ibu ke rumah saya?” sapa Alberto lembut. Ibu Alberto, bu guru Reika, dan polisi saling berpandangan heran.
“Hei nak, kau sudah rapi. Siapa namamu?” tanya polisi dengan spontan.
“Perkenalkan, aku Alberto. Ada keperluan apa Bapak kemari?” sahut Alberto sambil mengulurkan tangannya. Polisi itu pun menyambut jabat tangannya agar tidak terlihat bingung.
“Alberto, apa yang kau lakukan dari tadi pagi hingga malam?” tanya ibu Alberto serius.
“Aku? Sekolah tentu saja. Belajar seperti biasanya. Pulang dan membaca buku. Tadi aku sempat tertidur juga. Tak ada yang istimewa, Bu. Kau tentu tahu itu,” ucapnya santai.
“Ibu bertanya serius, Alberto! Jawab juga dengan serius!” bentak ibunya.

Alberto terkejut melihat muka ibunya yang nampak sangat marah. Aku pun terkejut. Namun aku lebih heran mengapa Alberto seolah-olah memang tidak menyadari perbuatannya hari ini. Aku serasa ingin mengungkapkan segalanya, namun aku hanyalah bayangan gelap yang juga tak mengerti sebab dari perilaku Alberto. Walaupun aku tidak ikut campur dengan keputusan perilaku Alberto, namun aku juga merasa bersalah karena telah membunuh Ron. Selain itu, aku sangat jijik pada perilaku Alberto ketika mengaku dirinya sebagai Eliza.

Alberto diam saja ketika dibentak ibunya. Namun tiba-tiba tatapannya berubah. Ia nampak gelisah melihat polisi.
“Ada apa Bapak kemari? Aku tidak salah. Aku membunuhnya demi kebaikan teman-temanku di sekolah yang telah banyak disakitinya,” ungkap Alberto yang sontak berdiri dan mengepal tangannya.
“Aku sangat membenci Ron! Ia pantas mati di tanganku! Aku telah menyelamatkan kebahagiaan teman-temanku!” jelasnya dengan gemetaran.
“Hei Alberto, kendalikan dirimu!” ucap ibunya sambil memegang tangannya.
“Aku John. Sudah berkali-kali aku bilang, aku John!” teriaknya sambil menghempas tangan ibunya.

Semua orang yang ada di tempat itu sangat terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa. Alberto yang mencoba melarikan diri langsung ditembak oleh polisi di bagian kakinya. Ketika Alberto tersungkur, ia langsung diborgol oleh polisi yang kemudian menelepon anak buahnya agar segera membantu.
“Ibu Alberto dan Bu Guru harus ikut saya juga ke kantor polisi,” tegas polisi sambil membangunkan tubuh Alberto yang tergeletak lemas di lantai. Ibu Alberto langsung ke kamarnya untuk menaruh barang bawaannya dan tiba-tiba…
“Aaaaaaa…!!!” Ia berteriak histeris ketika melihat jasad Diego yang tergeletak di dekat meja riasnya dan tulisan “I love you, Diego” di cermin.
Bu guru Reika langsung mendatangi ibu Alberto dan ia pun langsung terkejut.
“Pak polisi!!! Segera panggil anak buahmu, di sini ada mayat!” teriak bu guru Reika.
“Ayo Bu, kita ke kantor polisi. Biarkan ini diurus oleh kepolisian,” tambahnya, mencoba menguatkan ibu Alberto.
Ibu Alberto pun menurutinya sambil menangis. Akhirnya, beberapa polisi datang dan langsung mengamankan TKP dan juga jasad Diego.

Sesampainya di kantor polisi, Alberto dirawat kakinya dan kemudian diproses hukum. Aku tahu Alberto juga tidak memahami dirinya. Ia tidak bersalah.

***

Ternyata keyakinanku benar.

“Alberto tidak bersalah. Berdasarkan hasil asesmen dan diagnosa yang saya lakukan selama kurang lebih empat minggu, Alberto dapat dikatakan mengalami gangguan kejiwaan berupa Gangguan Identitas Disosiatif, biasanya disebut Kepribadian Ganda,” ujar seorang psikolog yang menjadi saksi ahli pada persidangan Alberto. “Gangguan inilah yang membuat Alberto memiliki kepribadian yang terpecah dan seolah berganti-ganti. Mengenai penyebabnya, tentu perlu dilakukan asesmen dan intervensi yang lebih mendalam melalui beberapa pendekatan,” tambahnya dengan penuh keyakinan.
Aku tahu, hal yang paling menyakitkan adalah kepribadian Alberto yang asli tidak ingat dan tidak kenal sama sekali dengan kepribadian Eliza dan John. Sehingga ia harus menanggung kebingungan atas seluruh proses penyembuhan yang dijalaninya.

Berkat kesaksian psikolog tersebut, Alberto dinyatakan tidak bersalah dengan alasan mengalami gangguan kejiwaan. Alberto dirawat selama satu tahun di institusi mental dan diisolasi dari lingkungan karena ia cenderung membahayakan. Semakin lama, ibunya semakin kesulitan membiayai perawatan Alberto. Kemudian, ibunya memutuskan untuk merawat anaknya sendiri di rumah.

Psikolog dan psikiater yang merawat Alberto telah melarang hal tersebut. Namun, keputusan tetap di tangan ibunya. Alberto dirawat di rumah dengan obat yang lebih murah dan kadang-kadang melakukan terapi. Tak kunjung sembuh, nampak kepribadian Alberto bertambah. Ia terkadang menangis seperti anak usia empat tahun dan terkadang suaranya menyerupai laki-laki lanjut usia. Karena ketakutan, terpaksa ibunya mengurung Alberto di sebuah gubuk tepat di samping rumahnya. Hanya sebuah tempat tidur dan bilik kamar kecil yang ada di dalam gubuk tersebut.


Alberto telah mengetahui gangguan yang dialaminya, namun entah mengapa semua terasa samar baginya. Ia pun bahkan tidak tahu kapan ia berperilaku sesuai kepribadian aslinya dan kapan ia berubah. Dan aku? Bagaimanapun juga aku tetap bersama Alberto. Aku tak pernah berpisah dengannya selama ada cahaya yang menyinarinya. Aku mengetahui dan menyadari segala perubahan Alberto dan tentu tak ada pilihan lain bagiku selain mengikutinya. Aku hanya bisa menemaninya dalam samar, tanpa bisa berucap, maupun menghiburnya.

Jumat, 14 Juli 2017

Sok Sibuk!

Sok sibuk? Ya, itulah satu-satunya alasan mengapa saya sudah sangat lama tidak menulis. Padahal biasanya otak saya sangat dipenuhi ide-ide untuk menulis, semua itu bersumber dari apa yang saya lihat, saya dengar, saya ketahui, atau saya rasakan. Tapi karena ide-ide itu belakangan ini tidak saya salurkan ke dalam tulisan, akhirnya mereka pun menyusut. Mungkin mereka enggan menghampiri karena terlalu sering saya acuhkan.

Saya terakhir aktif menulis ketika kuliah. Saat proses pembuatan skripsi, hingga lulus dan wisuda, saya banyak mengisi waktu sebagai editor berita di Psychonews (komunitas jurnalis di Fakultas Psikologi UIN Maliki Malang), dan kadang-kadang menulis artikel juga. Sekitar 2 bulan pasca wisuda, saya bekerja di suatu perusahaan yang bergerak di penjualan software. Perusahaan ini membuka brand tambahan (baru) yang kegiatannya fokus pada manajemen perusahaan, ya sejenis konsultan manajemen di bidang HR dan Finance, dan dari situlah saya direkrut.

Saya ditugaskan menangani manajemen perusahaan klien dalam bidang HR, sesuai basic ilmu saya, Psikologi. Kalau boleh cerita sedikit, sebenarnya bidang Psikologi Industri yang implementasinya ke ranah HR (SDM/Sumber Daya Manusia) bukanlah minat saya. Selama kuliah, saya lebih tertarik ke peminatan Psikologi Sosial. Namun, seperti yang dosen saya pernah katakan bahwa tidak ada yang namanya “Sarjana Psikologi Sosial, atau Sarjana Psikologi Klinis, dan sebagainya”, yang ada adalah Sarjana Psikologi dengan embel-embel S.Psi di belakang nama. Jadi, kita tidak perlu menutup diri dari berbagai cabang ilmu Psikologi yang tidak kita minati, karena tidak menutup kemungkinan tema skripsi kita bahkan profesi kita nantinya akan berbeda dengan yang digeluti selama kuliah. And that was true! Minat saya di Psikologi Sosial, tema skripsi yang saya angkat condong ke arah Psikologi Pendidikan, dan pekerjaan yang saya jalani di bidang Psikologi Industri, yakni sebagai HRD. Bagaimana saya bisa menjalani hal yang tidak saya minati? Caranya hanya menunjukkan rasa syukur dengan menikmati semua prosesnya.

Kembali ke pembahasan pekerjaan, saya direkrut sebagai karyawan kontrak, UU Ketenagakerjaan biasa menyebutnya dengan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Saya dikontrak selama 6 bulan dan karena project dengan perusahaan klien bersifat kontrak, maka jika project manajerialnya telah selesai (masa kontrak habis), maka kontrak sayapun selesai (alias tidak dilanjutkan).

Apa saja kegiatan saya dan tim selama memanajemen perusahaan klien dalam bidang HR? Mula-mula dilakukan analisis kebutuhan klien terhadap sistem SDM di perusahaannya. Kebanyakan hal yang saya handle adalah pembuatan kontrak kerja karyawan, pembuatan struktur organisasi, SOP, Job Description, dan Peraturan Perusahaan. Selain itu, saya memanajemen sistem SDM sesuai dengan standar UU Ketenagakerjaan yang berlaku, mulai dari memberlakukan upah lembur, penyesuaian upah (gaji), dan tunjangan.

Manajemen yang kami lakukan tidak hanya mengarah ke satu pihak, namun kedua belah pihak (karyawan dan perusahaan) harus dipenuhi haknya. Jika karyawan melakukan pelanggaran yang tercantum di buku Peraturan Perusahaan, maka yang bersangkutan akan diberikan Surat Peringatan atau Surat PHK sesuai bobot pelanggarannya. Hal ini dikarenakan perusahaan berhak mendapat kinerja yang optimal dari karyawannya. Namun jika karyawan bekerja lebih dari jam kerja yang telah disepakati, maka yang bersangkutan berhak menerima upah lembur sesuai aturan UU Ketenagakerjaan yang berlaku.

Berbagai masalah sering kami hadapi ketika memanajemen perusahaan klien, baik masalah internal antarkaryawan maupun antara karyawan dan perusahaan. Tidak jarang pula pihak perusahaan atau karyawannya yang berkonsultasi kepada kami mengenai masalah eksternal, mengenai masalah dengan Customer, misalnya.

Sebagai bagian baru yang masuk ke dalam tim, saya sangat banyak mendapat pengalaman dan pembelajaran dari kerja sama dengan tim maupun interaksi dengan klien. Kadang ada beberapa karyawan klien yang terikat secara emosional dengan saya sehingga ketika kontrak selesai, maka ada kesedihan yang saya rasakan, but life must go on. Nah, sekarang kegiatan yang membuat saya melabeli diri “sok sibuk” itu sebenarnya sudah berakhir. Sekarang sedang free, nih. Rasanya ingin kembali ke masa-masa semangat menulis, baca novel, dan kangen juga ketika tiba-tiba dikagetkan dengan ide yang muncul, kemudian segera ditulis untuk konsumsi sendiri ataupun di-share ke orang lain.

Sekarang saya benar-benar berharap semoga semangat ini tidak padam lagi, tidak ada “sok sibuk” lagi yang mengakibatkan ide malas muncul. Karena dari ide yang saya karyakan dalam suatu tulisan dapat membuat saya merasa lebih hidup dari biasanya. Ide pun tidak perlu dipaksakan untuk harus selalu segar, kadang ide/tema yang diangkat adalah hal lama tapi bisa dikemas dalam sebungkus paragraf yang baru dan menarik.

Sekian dari saya.


Semoga bermanfaat, amiin.

Welcome Back to Me: Kemana Tulisan Saya Selama Ini? (Part 3)

Hmm… Kemana lagi tulisan saya selama ini? Tulisan saya tidak hanya melalang buana di Kompasiana, pada semester III (tahun 2013) saya ikut magang reporter di fakultas, dan setelah itu saya dan para peserta magang lainnya mengembangkan program magang tersebut menjadi sebuah komunitas, yakni menjadi jurnalis fakultas yang diberi nama Psychonews. Tulisan-tulisan yang kami buat akan diedit dan dipublikasikan ke website resmi fakultas. Wah, pada saat itu sangat terasa fluktuasi dan pasang surutnya semangat menulis dan meliput berita. Tapi dosen pembina dan salah satu staf fakultas yang menjadi pembimbing sekaligus editor kami tidak pernah menyerah memberikan semangatnya pada kami.

Meliput event fakultas dan membuatnya menjadi sebuah berita pun sangat tidak mudah (pada awalnya). Sangat sering berita kami ditolak, tidak layak publish, dan diminta edit terus. Tentu kami juga tidak menyerah. Banyaknya berlatih dan penerimaan terhadap kritik dan saran dari orang sekitar membuat kami akhirnya mengerti bagaimana melihat sisi menarik dan penting dari suatu event, bagaimana membuat berita yang mudah dipahami dan menyenangkan pembaca, dan bagaimana membuat judul yang memiliki "Boom Effect", sehingga pembaca penasaran dengan isi dari berita tersebut.

Selain hal-hal di atas, yang membuat jurnalisme kami berbeda adalah unsur psikologis yang terkandung di tiap berita/artikel yang kami buat. Jujur, itu merupakan tantangan tersendiri bagi kami. Setelah unsur 5W+1H yang wajib ada di suatu berita, kami juga harus memutar otak, "Apa ya sisi psikologis yang terkandung di berita ini?" Unsur psikologis yang dimaksud bisa dari segi teori Psikologi yang dimasukkan, atau bisa juga hikmah-hikmah yang bisa kita resapi dengan adanya event tersebut.

Waktu berlalu hingga kami dianggap "cukup umur" untuk beregenerasi. Kami pun melakukan rekrutmen anggota baru sebagai reporter, dan kami anggota lama (generasi pertama) bertugas sebagai editor sekaligus reporter. Wah, rasanya kece banget punya jabatan sebagai editor, hehehe... Kami adalah editor bagi tulisan-tulisan anggota baru, dan selanjutnya masih harus dicek dan diedit lagi oleh pembimbing. Saya dan teman-teman generasi pertama aktif menjadi editor hingga hampir selesai kuliah dan ketika itu sudah mulai direkrut reporter generasi ketiga, sehingga generasi kedua pun naik menjadi editor.

Itulah proses perjalanan tulisan saya selama kuliah. Lalu, bagaimana dengan tahun 2017? Apa setelah lulus kuliah saya masih terus menulis? Yuk kita lihat di postingan selanjutnya.

Welcome Back to Me: Kemana Tulisan Saya Selama Ini? (Part 2)

Tidak hanya sampai di situ, saya juga menulis di media online Kompasiana. Sebenarnya itu adalah tugas kuliah, dosen saya mewajibkan untuk posting 1 tulisan perminggu selama perkuliahan. Tema yang diangkat dalam setiap tulisan adalah yang berkaitan dengan tema perkuliahan minggu tersebut, namun format penulisan bebas, ingin buat artikel, puisi, cerpen, terserah kita. Saya tentu lebih memilih membuat artikel, karena saya sangat tidak memahami fiksi dan bahasa-bahasa puitis, hehehe...

Nah, tapi ketika di minggu terkahir perkuliahan, saya dan teman-teman diwajibkan membuat cerpen bertema Abnormalitas (hal ini karena matakuliah tersebut adalah Psikologi Abnormal). Dosen saya berkata bahwa cerpen-cerpen tersebut akan diseleksi beberapa dan nantinya cerpen yang terpilih akan diabadikan ke dalam sebuah Antologi Cerpen. Saya sangat antusias namun juga bingung. Bagaimana caranya membuat cerpen? Tapi karena saya suka berkhayal, akhirnya saya mengkhayalkan suatu cerita tentang orang yang mengalami abnormalitas, dalam segi mental, tentunya. Lalu saya membuka laptop dan mulai menuliskannya sambil terus berkhayal. Dan tadaaaaa...! Cerpen saya pun jadi. Saya membuat judulnya Bayangan Alberto, dengan alur cerita seorang anak kecil bernama Alberto yang mengalami DID (Dissociative Identity Disorder), atau yang biasa disebut Kepribadian Ganda. 

Cerpen Bayangan Alberto
Singkat cerita, alhamdulillah cerpen saya terpilih. Setiap penulis diminta saling mengedit cerpen temannya yang lain. Selain diedit oleh teman, saya juga meminta kakak saya untuk membacanya. Saya ingin tahu, apakah hasil khayalan saya dapat ditanggap dengan mudah oleh orang lain? Ternyata respon kakak saya, "Aku takut bacanya, Ya. Dia kesurupan, ya?" Saya pun tertawa mendengar responnya. Seorang yang mengalami DID yang saya ceritakan (dan memang kenyataannya) sering berubah menjadi pribadi yang lain karena sebab-sebab tertentu. Kepribadiannya menjadi terpecah. Nah, perubahan-perubahan tersebut yang dikira kesurupan oleh kakak saya, hehehe...

Antologi Cerpen Was-was


Setelah melalui tahapan editan oleh teman dan dosen pengampu matakuliah, akhirnya cerpen kami diterbitkan ke dalam sebuah antologi cerpen yang berjudul "Was-was: Antologi Cerita Pendek Psikologi Abnormal".

Oiya, bagi yang penasaran dengan DID, silakan googling, ya. Kalau mau lihat visualisasinya, bisa juga nonton film The Three Faces of Eve (1957), Sybil (1976), Me, My Self, and Irene (2000), dan Identity (2003). Seru-seru filmnya, loh. Saya jadi lebih mengerti tentang ilmunya setelah menonton film-film tersebut.

Kamis, 06 Juli 2017

Welcome Back to Me: Kemana Tulisan Saya Selama Ini? (Part 1)

Hallo!

*Sebentar ya, saya mau menyapu debu-debu di blog yang lama tak tersentuh ini*

Hmm sudah sangat lama meninggalkan blog ini. Terakhir posting pada tahun 2011, sekitar 6 tahun yang lalu ya. Sangat banyak pengalaman yang sebenarnya wajib saya abadikan di sini. Ya karena banyaknya perkembangan teknologi, share pengalaman lebih banyak di media sosial. Berawal dari punya akun Friendster (ada yang masih ingat?). Lalu dilanjutkan dengan fase remaja menuju alay di Facebook. Tapi Facebook saya masih aktif sampai sekarang, karena banyak teman-teman masa sekolah dan kuliah yang masih menggunakannya juga. Terlebih ketika kuliah, media komunikasi dan berbagi informasi seputar tugas kuliah yang saya dengan teman-teman kampus adalah Facebook.

Banyak media sosial yang saya gunakan hingga saat ini, selain Facebook, ada juga Instagram, lalu BBM, Line, Whatsapp, dan Telegram, yang saat ini juga memiliki fasilitas share status, tidak hanya untuk chat saja. Bagaimana dengan Twitter dan Path? Alhamdulillah... sekarang sudah tidak aktif lagi di sana karena sudah puas ketika zaman sekolah dulu.

Nah, karena berbagai kecanggihan zaman yang saya sebutkan tadi itulah saya jadi stop (sementara) dari blog ini. Tapi selama 6 tahun itu saya tidak berhenti menulis. Selama kuliah dari tahun 2012-2016 saya kuliah, tentunya banyak nulis dong, hehe... Hingga menghasilkan skripsi yang bisa saya sebut dengan maha karya setiap mahasiswa, hehehe... Nah, di postingan ini saya ingin bercerita tentang pengalaman saya di dunia kepenulisan selama saya "hilang" dari blog ini.

Antologi Cerpen Bianglala Lakon 2
Semasa kuliah saya akrab dengan teman bernama Jihan. Ia sangat suka menulis, terutama puisi dan cerpen. Jihan adalah anggota dari komunitas penulis di kampus bernama Forum Lingkar Pena (FLP), dan cerpennya pun sudah dimasukkan ke dalam antologi cerpen berjudul "Bianglala Lakon 2". Jihan mengajak saya untuk ikut acara launcing antologi cerpen tersebut sekaligus workshop kepenulisan yang berbarengan diadakan. Saya berjanji akan membeli antologi tersebut dan meminta tanda tangan Jihan dan penulis lainnya.

Saat berlangsungnya workshop tersebut saya sangat antusias, apalagi ketika sesi penugasan membuat artikel. Alhamdulillah dari puluhan peserta yang ikut, artikel saya beruntung dipilih oleh narasumber dan saya mendapat "Bianglala Lakon 2" gratissss! hehehe... Wah, saya sangat senang! Jihan pun tersenyum ketika melihat saya berfoto ketika menerima hadiah tersebut.
Penerimaan hadiah - (yang belakang bukan Jihan, ya. hehehe)


Cerpen Jihan beserta tanda tangannya
Saya pun bilang, "Aku udah dapet, Han. Gratis. Aku nggak usah beli, ya, hehehe." Jihan pun mengiyakan sambil menandatangani di halaman cerpen karangannya.

Ada lagi yang membuat saya antusias dengan acara tersebut, di akhir acara narasumber ---yang merupakan seorang redaktur sebuah surat kabar--- mengajak kami untuk mengirimkan artikel terbaik yang pernah dibuat ke email beliau. "Saya tunggu sampai jam 12 malam ini. Boleh mengirim beberapa, nanti saya seleksi dan pasti saya masukkan koran," ucap beliau seingat saya waktu itu. Sepulang dari workshop, saya bergegas mengecek kumpulan artikel yang saya buat, dan saya kirim 3 artikel ke email beliau.

Tak ada balasan dari email yang saya kirimkan, hingga beberapa hari kemudian pagi-pagi ketika berangkat kuliah, Jihan menyapa saya dan mengucapkan selamat.
"Selamat ya, Fi!" kata Jihan sambil menyalami saya dengan waja sumringah.
"Apa?" tanya saya.
"Tulisanmu masuk koran."
"Wah, yang Bapak kemarin itu? Kok aku nggak tahu, ya? Nggak ada dibalas emailku."
"Iya, aku juga tahunya dari grup FLP, mungkin mereka dikabarin oleh Bapaknya itu."
"Waaaah, nanti aku beli deh korannya," sambil sumringah pake banget.
"Iya, selamat ya, Fi!"
"Iya, Han. Makasih banyak ya, Han."

Malam harinya langsung ngajak teman kos ke mas-mas yang jualan koran dekat kos. Untungnya masih buka dan koran yang dicari ada. Pas di kos buka halaman per halaman dengan deg-degan, hingga saya menemukan artikel yang saya tulis dan foto saya di pojok kanannya.

Artikel pertama yang masuk koran, seneng banget!

Judulnya berubah, mungkin karena judul yang saya buat kurang menarik dan terlalu panjang. Tapi isinya pas seperti tulisan saya dan fotonya juga benar. Saat itu saya sempat bingung, mereka dapat foto saya dari mana? Entahlah, yang pasti malam itu sangat menyenangkan!